Kamis, 24 Maret 2011

kemiskinan dan kesenjangan pendapatan

PENDAHULUAN
Dalam distribusi pendapatan baik antarkelompok berpendapatan, Untuk mencapai tujuan tersebut maka pusat pembangunan dimulai di Pulau Jawa, khususnya Propinsi Jawa Barat, karena fasilitas seperti infrastruktur lebih tersedia dibandingkan dipropinsi lainnya di Indonesia dan di beberapa propinsi hanya dibeberapa sector saja yang bisa dengan cepat memberi pertumbuhan misalnya sector primer dan industri berat. Faktor-faktor yang menyebabkan kesenjangan dan kemiskinan tetap ada ditanah air walaupun pembangunan ekonomi berjalan terus dan Indonesia memiliki laju pertumbuhan yang relatif tinggi.
  1. PERTUMBUHAN, KESENJANGAN DAN KEMISKINAN
1.            Hubungan antara Pertumbuhan dan Kesenjangan: Hipotesis Kuznets
Data decade 1970an dan 1980an mengenai pertumbuhan ekonomi dan distribusi di banyak Negara berkembang, terutama Negara-negara dengan proses pembangunan ekonomi yang tinggi, seperti Indonesia, menunjukkan seakan-akan ada korelasi positif antara laju pertumbuhan dan tingkat kesenjangan ekonomi: semakin tinggi pertumbuhan PDB atau semakin besar pendapatan per kapita semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya.  Studi dari Jantti (1997) dan Mule (1998) memperlihatkan perkembangan ketimpangan pendapatan antara kaum miskin dan kaum kaya di Swedia, Inggris dan AS, serta beberapa Negara di Eropa Barat menunjukkan kecenderungan yang meningkat selama decade 1970an dan 1980an.  Jantti membuat kesimpulan semakin besar ketimpangan distribusi pendapatan disebabkan oleh pergeseran demografi, perubahan pasar buruh dan perubahan kebijakan public.  Dalam perubahan pasar buruh, membesarnya kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besarnya pendapatan dari istri dalam jumlah pendapatan keluarga merupakan dua factor penyebab penting.
Literature mengenai perubahan kesenjangan dalam dsitribusi pendapatan awalnya didominasi oleh apa yang disebuthipotesis Kuznets.  Dengan memakai data antar Negara (cross section) dan data dari sejumlah survey/observasi di tiap Negara (time series), Simon Kuznets menemukan relasi antara kesenjangan pendapatan dan tingkat perdapatan per kapita berbentuk U terbalik.  Hasil ini diinterpretasikan sebagai evolusi dari distribusi pendapatan dalam proses transisi dari ekonomi pedesaan (rural) ke ekonomi perkotaan (urban) atau ekonomi industry.

2.            Hubungan antara Pertumbuhan dan Kemiskinan
Dasar teori dari korelasi antara pertumbuhan dan kemiskinan tidak berbeda dengan kasus pertumbuhan dengan ketimpangan, seperti yang telah dibahas di atas.  Mengikuti hipotesis Kuznets, pada tahap awal proses pembangunan tingkat kemiskinan cenderung meningkat, dan saat mendekati tahap akhir pembangunan jumlah orang miskin berangsur berkurang.  Namun banyak factor lain selain pertumbuhan yang juga mempunyai pengaruh besar terhadap tingkat kemiskinan di suatu wilayah/Negara seperti struktur pendidikan tenaga kerja dan struktur ekonomi.


Faktor yang berpengaruh pada tingkat kemiskinan:
a) Pertumbuhan
b) Tingkat pendidikan
c) Struktur ekonomi

Pertumbuhan dan Ketimpangan
 Nampaknya tidak ada yang meragukan keterkaitan antara pertumbuhan dan ketimpangan. Namun terdapat berbagai macam pandangan mengenai pola keterkaitan tersebut. Sebagian ekonom memandang bahwa hubungan antara keduanya merupakan hubungan kausal secara timbal balik: ketimpangan mempengaruhi pertumbuhan, dan sebaliknya, pertumbuhan juga mempengaruhi ketimpangan (Kaldor, 1960; Jha, 1999; Barro, 2000; Svedberg, 2002; dan Bourguignon, 2004).
Galor dan Zeira (1993), Alesina dan Rodrik (1994), Persson dan Tabellini (1994), Benabou (1996), Perotti (1996), Aghion dan Howitt (1997), Li dan Zou (1998), Forbes (2000), Afranca et. al. (2000), Banerjee dan Duflo (2000), dan Pardo-Beltran (2002), lebih mendukung pandangan yang mengatakan bahwa distribusi pendapatan-lah yang mempengaruhi pertumbuhan. Landasan teorinya adalah: distribusi pendapatan yang timpang akan berpengaruh terhadap jumlah investasi, baik fisik maupun manusia, dan selanjutnya akan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi. Alesina dan Rodrik, Persson dan Tabellini, Benabou, dan Perotti menemukan bahwa pengaruh ketimpangan terhadap pertumbuhan adalah negatif. Hasil ini berbeda dengan penemuan Aghion dan Howitt, Li dan Zou, dan Forbes, yang justru menemukan pengaruh yang positif. Aghion dan Howitt misalnya, telah mengestimasi pengaruh ketimpangan terhadap pertumbuhan dan menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara keduanya. Artinya, semakin tinggi ketimpangan, semakin besar kontribusinya terhadap pertumbuhan.
Namun sebagian besar ekonom justru berpandangan sebaliknya. Mereka lebih percaya bahwa pertumbuhan ekonomi-lah yang menciptakan ketimpangan (Kuznets, 1955; Ravallion, 1995; Deininger dan Squire, 1996; Schultz, 1998; Bruno, Ravallion dan Squire, 1998; Dollar dan Kraay, 2001 dan 2002; Son dan Kakwani, 2003; dan Adams, 2004). Argumentasi teoritisnya adalah: pertumbuhan ekonomi menyebabkan setiap kelompok dalam masyarakat memperoleh keuntungan, namun kelompok yang menguasai faktor produksi dan modal biasanya mendapatkan keuntungan yang relatif lebih besar dibandingkan dengan kelompok lainnya (para buruh).
Jika ditelusuri kebelakang, debat mengenai hubungan antara pertumbuhan dan ketimpangan, awalnya dipicu oleh sebuah hipotesis yang dikemukakan oleh Kuznets (1955) – dikenal dengan Kuznets Hypothesis -, yang menyatakan bahwa keterkaitan antara pertumbuhan dan ketimpangan seperti U-shaped terbalik: pada tahap awal pembangunan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung buruk dan tidak akan meningkat sampai negara tersebut mencapai status berpendapatan menengah (middle-income). Namun sesudah fase tersebut, distribusi pendapatan akan terus membaik atau ketimpangan akan terus menurun. Implikasi lain dari temuan ini, menurut Adams (2003), adalah bahwa pada tahap awal proses pembangunan, tingkat kemiskinan cenderung meningkat, dan butuh waktu beberapa tahun untuk menjadi berkurang di negara-negara berkembang.
Hipotesis Kuznets di atas didasarkan pada data cross-sectional dengan mengobservasi sejumlah negara dengan tahap pembangunan yang bervariasi. Tentu saja, penggunaan jenis data seperti ini dianggap memiliki kelemahan, sebab bagaimanapun, tujuan untuk memahami dampak pertumbuhan terhadap ketimpangan lebih dimungkinkan jika menggunakan data time-series, karena dapat menunjukkan perubahan ketimpangan dalam suatu negara akibat pertumbuhan dari waktu ke waktu. Dalam dekade terakhir, dengan menggunakan data time-series telah dilakukan beberapa studi empiris, diantaranya Ravallion (1995), Deininger dan Squire (1996), Schultz (1998), dan Bruno, Ravallion dan Squire (1998). Temuan empiris semua studi tersebut cenderung menolak Hipotesis Kuznets. Ravallion misalnya, mengatakan bahwa:
“The rejection of the inverted U hypothesis (of the Kuznets curve) could not be more convincing… The data do not suggest that growth tends to either increase or decrease inequality”.
Saat ini, kebanyakan para ekonom berpikir bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mempunyai dampak besar terhadap perbaikan ketimpangan, karena distribusi pendapatan secara umum tidak banyak berubah dari waktu ke waktu. Menurut Deininger dan Squire (1996), Gross Domestic Product (GDP) per kapita meningkat 26% di negara-negara berkembang antara tahun 1985-1995, namun koefisien Gini hanya berubah 0,28% per tahun selama periode tersebut. Sebagai misal, di Taiwan pendapatan per kapita riil meningkat lima kali lipat antara tahun 1964-1990, akan tetapi koefisien Gini hanya mengalami penurunan yang relatif kecil, yaitu dari 32,2 ke 30,1.
Hasil studi Ravallion dan Chen (1997) terhadap 67 negara berkembang dan transisi, cenderung mendukung temuan Deininger dan Squire (1996). Dengan menggunakan data survey rumah tangga selama periode 1981-1994, ia menemukan bahwa perubahan ketimpangan tidak memiliki kaitan dengan perubahan standar hidup rata-rata. Bahkan pertumbuhan seringkali justru memperburuk distribusi pendapatan.
Beberapa studi kasus (case studies) juga menunjukkan gejala yang sama bahwa distribusi pendapatan tidak banyak mengalami perubahan meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi selama periode analisis. Kasus Brazil seringkali dijadikan sebagai illustrasi yang baik. Menurut studi yang dilakukan oleh Ferreira dan Barros (1998), ketimpangan di Brazil tidak berubah antara tahun 1976 dan 1996, meskipun pendapatan per kapita secara keseluruhan meningkat beberapa persen. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi di Brazil tidak mempunyai dampak terhadap perbaikan distribusi pendapatan.
Apa yang diungkapkan oleh Bank Dunia dalam World Development Indicators 1998 (dikutip dalam Todaro, 2003), sebagian cenderung mendukung temuan di atas. Dalam laporan tersebut nampak agak sulit untuk menarik kesimpulan apakah pertumbuhan ekonomi dapat memperbaiki distribusi pendapatan, setidaknya dalam kurun waktu lebih dari tiga dekade (1965-1996). Di Amerika Latin dan di Afrika misalnya, pertumbuhan nampak berjalan beriringan dengan perbaikan distribusi pendapatan: pertumbuhan nampak meningkat dan koefisien Gini cenderung menurun. Namun, gambaran tersebut tidak berlangsung di Asia Timur. Meskipun pertumbuhan di Asia Timur nampak mengalami peningkatan yang amat signifikan (rata-rata di atas 5% per tahun), akan tetapi ketimpangan justru kian membesar (ditunjukkan oleh koefisien Gini yang semakin meningkat).
Hasil serupa juga ditunjukkan oleh Cornia dan Kiiski (2001) yang mengamati kecenderungan distribusi pendapatan sesudah Perang Dunia Kedua, atau dari tahun 1960-an sampai dengan tahun 1990-an. Dari 73 negara yang diamati (17 negara maju, 34 negara berkembang, dan 22 negara transisi), 48 negara diantaranya (dua pertiga dari populasi) mengalami ketimpangan yang semakin meningkat. Ini cukup menarik, sebab fenomena ini justru terjadi di negara-negara maju (12 dari 17 negara yang diamati) dan di negara-negara transisi (21 dari 22 negara yang diamati). Terdapat 16 negara yang menunjukkan ketimpangan yang relatif konstan, namun beberapa negara diantaranya, seperti Brasil, India, Banglades, dan Indonesia menunjukkan kenaikan ketimpangan dalam 2-3 tahun terakhir periode pengamatan. Hanya 9 negara yang mencatat adanya perbaikan dalam distribusi pendapatan. Ini sebagian besar terjadi di negara-negara kecil (small nations) seperti Honduras, Jamaika, Tunisia, Norwegia, dan negara-negara berukuran sedang (medium-sized nations) seperti Perancis, Korea Selatan, dan Malaysia. Salah satu temuan penting studi ini adalah bahwa ketimpangan yang tinggi dapat mengganggu pertumbuhan, dan bahkan dapat memberikan dampak buruk bagi kehidupan sosial da
Strategi oleh pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan:
a)  Jangka pendek yaitu membangun sector pertanian, usaha kecil dan ekonomi pedesaan
b)  Jangka menenga\h dan panjang mencakup:
  • Pembangunan dan penguatan sector swasta
  • Kerjasama regional
  • Manajemen APBN dan administrasi
  • Desentralisasi
  • Pendidikan dan kesehatan
  • Penyediaan air bersih dan pembangunan perkotaan
  • Pembagian tanah pertanian yang merata
n politik.


KESIMPULAN:
Kemiskinan hal yang harus dialami oleh Negara dan dari perekonomian bisa membandingkan kemajuan dengan Negara lain.dan besarnya kemiskinan bisa dapat diukur dengan mengacu kepada garis kemiskinan,yang dimasuk dengan garis kemiskinan yaitu:kemiskinan sangat relative

Tidak ada komentar:

Posting Komentar